Minggu, 12 Mei 2013

pusing


2.1. Laporan Keuangan Daerah
 Sesuai dengan siklus akuntansi, setelah menyusun neraca saldo setelah penyesuaian, disusunlah laporan-laporan keuangan dengan mengambil data dari neraca saldo setelah penyesuaian. Berdasarkan Pasal 232 dari Permendagri No 13 Tahun 2006, Laporan keuangan pemda terdiri atas (Halim 2007: 73):
1.      Laporan realisasi anggaran
2.      Neraca
3.      Laporan arus kas
4.      Catatan atas Laporan Keuangan
Namun demikian, dari sudut pandang akuntansi,dapat pula disusun laporan tambahan, yaitu laporan kinerja keuangan perubahan ekuitas dana (untuk entitas pemda secara keseluruhan) atau laporan perubahan perubahan rekening Koran pemda (untuk satuan kerja).
Sebagaimana halnya laporan laba rugi menunjukkan hasil usaha perusahan dalam rentan waktu tertentu, Laporan Perhitungan APBD juga menunjukkan kinerja pemda sebagai penyusun dan pelaksanaan APBD. Dengan demikian, Laporan Perhitungan APBD menyajikan pendapatan pemda selama satu periode dan belanja untuk memperoleh pendapatan tersebut pada periode yang sama.
Nota Perhitungan APBD berisi ringkasan realisasi pendapatan, belanja dan pembiayaan, serta kinerja keuangan daerah selama periode akuntansi pada tahun yang sedang berlangsung. Kinerja keuangan antara lain mencakup kinerja dalam rangka pelaksanaan fungsi, program, dan kegiatan selama periode akuntansi, kinerja pelayanan yang dicapai, dan bagian belanja yang digunakan untuk kegiatan administrasi umum, operasi dan pemeliharaan serta investasi.
   Laporan perubahan ekuitas dana pemda menyajikan informasi mengenai perubahan surplus/defisit anggaran akibat berbagai transaksi yang terjadi dalam suatu periode. Laporan perubahan ekuitas dana merupakan pelengkap dari Laporan Perhitungan APBD.
Laporan arus kas menyajikan informasi tentang kemampuan dalam memperoleh kas dan menilai penggunaan kas untuk kebutuhan daerah dalam satu periode akuntansi. Penerimaan dan pengeluaran kas diklasifikasikan  menurut kegiatan operasi, investasi, dan pembiayaan.
Neraca adalah laporan keuangan yang menyajikan posisi keuangan daerah pada saat tertentu, biasanya pada akhir tahun anggaran. Laporan ini dibuat untuk menyajikan informasi keuangan yang dapat dipercaya mengenai aktiva, utang.
2.2. Kinerja
2.2.1. Pengertian Kinerja
Menurut Mahsun, Sulistyowati dan Purwanu (2007:157):
“ Kinerja (performance) adalah gambaran mengenai tingkat pencapaian pelaksanaan suatu kegiatan/program/kebijakan dalam mewujudkan sasaran, tujuan, misi dan visi organisasi yang tertuang dalam strategic planning suatu organisasi”.

Menurut Bastian (2006:274):
“ Kinerja adalah gambaran pencapaian pelaksanaan suatu kegiatan/ program/ kebijaksanaan dalam mewujudkan sasaran, tujuan, misi, dan visi organisasi. Secara umum, kinerja merupakan prestasi yang dicapai oleh organisasi dalam periode tertentu”. 
Kinerja menurut Anwar Prabu Mangkunegara (2000 : 67) dalam Wikipedia (13 November 2011):
“Kinerja (prestasi kerja) adalah hasil kerja secara kualitas dan kuantitas yang dicapai oleh seseorang pegawai dalam melaksanakan tugasnya sesuai dengan tanggung jawab yang diberikan kepadanya”.
Menurut Veizal Rivai ( 2004 : 309) mengemukakan kinerja dalam Wikipedia (13 November 2011) :
“ Merupakan perilaku yang nyata yang ditampilkan setiap orang sebagai prestasi kerja yang dihasilkan oleh karyawan sesuai dengan perannya dalam perusahaan”.
Dari definisi diatas, dapat ditarik kesimpulan bahwa kinerja merupakan suatu kondisi yang harus diketahui dan dikonfirmasikan kepada pihak tertentu untuk mengetahui tingkat pencapaian hasil suatu instansi dihubungkan dengan visi yang diemban suatu organisasi atau perusahaan serta mengetahui dampak positif dan negatif suatu kebijakan.
2.2.2. Pengertian Pengukuran Kinerja
          Menurut Robertson (dalam Mahsun, Sulistyowati dan Purwanu 2007:157), pengukuran kinerja (performance measurement) adalah suatu proses penilaian kemajuan pekerjaan terhadap tujuan dan sasaran yang telah ditentukan sebelumnya, termaksud informasi atas: efisiensi, penggunaan sumber daya dalam menghasilkan barang dan jasa, kualitas barang dan jasa (seberapa baik barang dan jasa diserahkan kepada pelanggan dan sampai seberapa jauh pelanggan terpuaskan), hasil kegiatan dibandingkan dengan maksud yang diinginkan, dan efektivitas tindakan dalam mencapai tujuan.
          Menurut Lohman (dalam Mahsun, Sulistyowati dan Purwanu 2007:157), pengukuran kinerja adalah suatu aktivitas penilaian pencapaian target-target tertentu yang diderivasi dari tujuan strategi organisasi.
          Pendapat lain menurut James B. Whittaker (dalam Bastian 2006:330), pengukuran kinerja adalah suatu alat manajemen untuk meningkatkan kualitas pengambilan keputusan dan akuntabilitas.
          Menurut Larry D Stout dalam Performance Measurement Guide (Bastian 2006:329), pengukuran kinerja merupakan proses mencatat dan mengukur pencapaian pelaksanaan kegiatan dalam arah pencapaian misi (mission accomplishment) melalui hasil-hasil yang ditampilkan berupa produk, jasa, ataupun suatu proses.



          Menurut Mardiasmo (2002:121):
“Sistem pengukuran kinerja sektor publik adalah suatu sistem yang bertujuan untuk membantu manajer publik menilai suatu strategi melalui alat ukur finansial dan nonfinansial”.
          Dari berbagai pengertian diatas dapat disimpulkan bahwa pengukuran kinerja merupakan evaluasi atau penilaian terhadap pencapaian pelaksanaan kegiatan suatu organisasi berdasarkan tujuan, sasaran, standar dan kriteria yang telah ditetapkan sebelumnya. Informasi mengenai hasil pengukuran ini juga akan menjadi referensi dalam penentuan standar kinerja untuk masa yang akan datang. Berapa besaran target yang menjadi acuan pencapaian pada periode berikutnya juga bertumpu pada hasil pengukuran kinerja yang dilakukan.

2.2.3. Tujuan Penilaian Kinerja
          Prestasi pelaksanaan program dapat diukur untuk mendorong pencapaian prestasi tersebut. Pengukuran prestasi yang dilakukan secara berkelanjutan memberikan umpan balik untuk upaya perbaikan secara terus menerus dan pencapaian tujuan dimasa mendatang.
          Peranan pengukuran prestasi sebagai alat manajemen untuk (Bastian 2006:330):
1.        Memastikan pemahaman para pelaksana dan ukuran yang digunakan untuk pencapaian prestasi.
2.        Memastikan tercapainya skema prestasi yang disepakati.
3.        Memonitor dan mengevaluasi kinerja dengan pembanding skema kerja dan pelaksanaan.
4.        Memberikan penghargaan dan hukuman yang objektif atas prestasi pelaksanaanyang telah diukur sesuai dengan sistem pengukuran prestasi yang telah disepakati.
5.        Menjadikan alat komunikasi antar bawahan dan pimpinan dalam upaya memperbaiki prestasi organisasi.
6.        Mengidentifikasi apakah kepuasan pelanggan sudah terpenuhi.
7.        Membantu memahami proses kegiatan instansi pemerintahan.
8.        Memastikan bahwa pengambilan keputusan dilakukan secara objektif.
9.        Menunjukkan peningkatan yang perlu dilakukan.
10.    Mengungkapkan permasalahan yang terjadi.

2.2.4. Aspek Pengukuran Kinerja
          Pengukuran kinerja biasanya dilakukan untuk aspek-aspek berikut ini ( Bastian 2006:331):
1.        Aspek Finansial.
Aspek finansial meliputi anggaran atau cash flow. Aspek finansial ini sangat penting diperhatikan dalam pengukuran kinerja sehingga Dianalogikan sebagai aliran darah dalam tubuh manusia.



2.        Kepuasan Pelanggan.
Dalam globalisasi perdagangan,peran dan posisi pelanggan sangat krusial dalam penentuan strategi perusahaan. Untuk itu, manajemen perlu memperoleh informasi yang relevan tentang tingkat kepuasan pelanggan.
3.        Operasi dan Pasar Internal.
Informasi operasi dan mekanisme pasar internal diperlukan untuk memastikan bahwa seluruh kegiatan organisasi dirancang untuk pencapaian tujuan dan sasaran organisasi. Disamping itu, informasi operasi dan pasar internal menentukan tingkat efisiensi dan efektivitas operasi organisasi.
4.        Kepuasan Pegawai.
Dalam organisasi yang banyak melakukan inovasi, peran strategis pegawai amat menentukan kelangsungan organisasi.
5.        Kepuasan Komunitas dan Stakholders.
Pengukuran kinerja perlu dirancang untuk mengakomodasi kepuasan para stakeholders.
6.        Waktu
Informasi untuk pengukuran harus informasi terbaru, sehingga manfaat hasil pengukuran kinerja dapat dimaksimalkan.

          Mekanisme pengukuran kinerja dapat dilaksanakan dengan memperhatikan hal-hal sebagai berikut:
a.         Membuat komitmen dan menjalankan pengukuran kinerja.
Hal yang perlu dilakukan oleh instansi adalah sesegera mungkin membuat komitmen pengukuran kinerja, dan menjalankannya dengan tidak mengharapkan pengukuran kinerja akan langsung sempurna, untuk itu perlu dilakukan evaluasi terhadap pengukuran kinerja tersebut.
b.        Perlakuan pengukuran kinerja sebagai suatu proses yang berkelanjutan.
Pengukuran kinerja merupakan suatu proses yang bersifat interaktif. Proses ini merupakan suatu cerminan upaya organisasi untuk memperbaiki kinerja.
c.         Menyesuaikan proses pengukuran kinerja dengan organisasi
Organisasi harus menetapkan ukuran kinerja yang sesuai dengan bentuk dan besarnya organisasi, budaya, visi, tujuan, sasaran, dan struktur organisasi.

2.3. Rasio Keuangan
          Analisis keuangan adalah usaha mengidentifikasi ciri-ciri keuangan berdasarkan laporan yang tersedia. Bagi perusahaan swasta (lembaga yang bersifat komersil), analisis rasio keuangan umumnya terdiri dari dari :
1.      Rasio likuiditas, yaitu rasio yang menggambarkan kemampuan perusahaan untuk memenuhi kewajibannya dengan segera.
2.      Rasio leverage, yaitu rasio yang mengukur perbandingan dana yang disediakan oleh pemilik dengan dana yang dipinjam perusahaan dari kreditur.
3.      Rasio aktivitas, yaitu rasio yang digunakan untuk mengukur efektif atau tidaknya perusahaan dalam menggunakan dan mengendalikan sumber yang dimiliki perusahaan.
4.      Rasio profitabilitas, yaitu rasio yang mengukur kemampuan perusahaan dalam menghasilkan laba.
Rasio-rasio tersebut perlu disusun untuk melayani pihak yang berkepentingan dengan perusahaan, yaitu:
1.    Para kreditur, baik jangka pendek maupun jangka panjang, yaitu menilai kemampuan perusahaan dalam memenuhi kewajibannya.
2.    Pemegang saham ataupun pemilik perusahaan, yaitu untuk menganalisis sampai sejauh mana perusahaan mampu membayar deviden ataupun memperoleh laba.
3.    Pengelola, yaitu sebagai informasi yang dapat dipakai sebagai landasan dalam mengambil keputusan.
Pengunaan analisis rasio pada sektor publik khususnya terhadap APBD belum banyak dilakukan, sehingga secara teori belum ada kesepakatan secara bulat mengenai nama dan kaidah pengukurannya. Meskipun demikian,dalam rangka pengelolaan keuangan daerah yang transparan, jujur, demokratis, efektif, efisien, dan akuntabel. Analisis rasio terhadap APBD perlu dilaksanakan meskipun kaidah pengakuntansian dalam APBD berbeda dengan laporan keuangan  yang dimiliki perusahaan swasta.
Analisis rasio keuangan pada APBD dilakukan dengan membandingkan hasil yang dicapai dari satu periode dengan periode sebelumnya sehingga dapat diketahui bagaimana kecenderungan yang terjadi. Selain itu,dapat pula dilakuan dengan cara membandingkan dengan rasio keuangan yang dimiliki pemda tertentu dengan rasio keuangan daerah lain yang terdekat ataupun potensi daerahnya relatif sama untuk melihat bagaimana posisi rasio keuangan pemda tersebut terhadap pemda lainnya.
Beberapa rasio yang dapat dikembangkan berdasarkan data keuangan yang bersumber dari APBD antara lain rasio kemandirian (otonomi fiskal), rasio efektivitas dan efisiensi, serta debt service coverage ratio. (Halim 2007: 231)

1.      Rasio Kemandirian Keuangan Daerah
Kemandirian keuangan daerah (otonomi fiskal) menunjukkan kemampuan pemerintah daerah membiayai sendiri kegiatan pemerintahan, pembangunan dan pelayanan kepada masyarakat yang telah membayar pajak retribusi sebagai sumber pendapatan yang diperlukan daerah. Kemandirian keuangan daerah ditunjukkan oleh besar kecilnya pendapatan asli daerah dibandingkan dengan pendapatan daerah yang berasal dari sumber yang lain, misalnya bantuan pemerintah pusat ataupun dari pinjaman (Halim 2007: 232).
                                                     Pendapatan Asli Daerah
Rasio Kemandirian = 
  Bantuan Pemerintah Pusat/Provinsi dan Pinjaman

       Rasio kemandirian menggambarkan ketergantungan daerah terhadap sumber data ekstern. Semakin tinggi rasio kemandirian mengandung arti bahwa tingkat ketergantungan daerah terhadap bantuan pihak ekstern (terutama pemerintah pusat dan propinsi) semakin rendah, dan demikian pula sebaliknya. Rasio Kemandirian juga menggambarkan tingkat partisipasi masyarakat dalam membayar pajak dan retribusi daerah yang merupakan komponen utama pendapatan asli daerah. Semakin tinggi masyarakat membayar pajak dan retribusi daerah akan menggambarkan tingkat kesejahteraan masyarakat yang semakin tinggi.
Rasio Pendapatan Asli Daerah (Peraturan Menteri Dalam Negeri No 65 Tahun 2007) :
•      Pendapatan Asli Daerah terhadap Total pendapatan
•      Pendapatan Pajak daerah terhadap Pendapatan Asli Daerah
•      Pendapatan Retribusi Daerah terhadap Pendapatan   Asli Daerah
•      Pendapatan   Hasil   Pengelolaan   Kekayaan   Daerah   yang dipisahkan  terhadap Pendapatan Asli Daerah
•      Lain-lain PAD yang sah terhadap Pendapatan Asli Daerah
Rasio Pendapatan Transfer:
•    Rasio Pendapatan transfer terhadap Total Pendapatan
•      Rasio Dana Bagi Hasil Sumber Daya Alam terhadap Total Pendapatan
•      Rasio Dana Alokasi Umum terhadap total Pendapatan
•      Rasio Dana Alokasi Umum terhadap belanja Pegawai
•      Rasio Lain-lain pendapatan terhadap total pendapatan
•      Rasio Belanja Transfer/Bag! hasil Pendapatan ke Kabupaten/ Kota
terhadap Total Pendapatan
    Pendapatan Asli Daerah
Rasio Kemandirian Daerah: -------------------------------------------------------
      (Dana Perimbangan + Pinjaman Daerah)

           
Tabel 2.1Tingkat Kemandirian dan Kemampuan Keuangan Daerah
Kemampuan Keuangan
Kemandirian (%)
Rendah Sekali
Rendah
Sedang
Tinggi
0% - 25%
25% - 50%
50% - 75%
75% - 100%
Sumber : Kepmendagri No.690.900.327 tahun 1996

2.    Rasio Efektifitas Dan Efisiensi Pendapatan Asli Daerah
a.         Rasio Efektifitas
Menggambarkan kemampuan pemerintah daerah dalam merealisasikan pendapatan asli daerah yang direncanakan dibandingkan dengan target yang ditetapkan berdasarkan potensi rill daerah (Halim 2007:234).
                
                                                                 Realisasi Penerimaan PAD
Rasio Efektifitas =
Target Penerimaan PAD Yang Ditetapkan Berdasarkan  Potensi Rill Daerah

Kemampuan daerah dalam menjalankan tugas dikategorikan efektif apabila rasio yang dicapai minimal sebesar 1 (satu) atau 100%. Namun demikian semakin tinggi rasio efektifitas, menggambarkan kemampuan daerah yang semakin baik. Guna memperoleh ukuran yang lebih baik,rasio efektifitas tersebut perlu dipersandingkan dengan rasio efisiensi yang dicapai pemerintah.

Tabel 2.2 Kriteria Efektivitas Keuangan Daerah

Kriteria Efektivitas
Persentase Efektifitas (%)
Sangat Efektif
>100
Efektif
>90 – 100
Cukup Efektif
>80 – 90
Kurang Efektif
>60 – 80
Tidak Efektif
≤60
Sumber :Kepmendagri No.690.900.327 tahun 1996

b.        Rasio Efisiensi
Menggambarkan perbandingan antara besarnya biaya yang dikeluarkan untuk memperoleh pendapatan dengan realisasi pendapatan yang diterima. Kinerja pemerintahan daerah dalam melakukan pemungutan pendapatan dikategorikan efisien apabila rasio yang dicapai kurang dari 1 (satu) atau dibawah 100%. Semakin kecil rasio efisiensi berarti kinerja pemerintahan semakin baik. Untuk  itu pemerintah daerah perlu menghitung secara cermat berapa besar biaya yang dikeluarkan untuk merealisasikan seluruh pendapatan yang diterimanya sehingga dapat diketahui apakah kegiatan pemungutan pendapatannya tersebut efisien atau tidak. Hal itu perlu dilakukan karena meskipun pemerintah daerah berhasil merealisasikan target penerimaan pendapatan sesuai dengan target yang ditetapkan, namun keberhasilan itu kurang memiliki arti apabila ternyata biaya yang dikeluarkan untuk
merealisasikan target penerimaan pendapatannya itu lebih besar daripada realisasi pendapatan yang diterimanya (Halim 2007:234).

Biaya Yang Dikeluarkan Untuk Memungut PAD
Rasio Efisiensi =
                                                           Realisasi Penerimaan PAD

Tabel 2.3 Kriteria Efisiensi Kinerja Keuangan

Kriteria Efisiensi
Persentase Efisiensi
100% keatas
Tidak Efisien
90%-100%
Kurang Efisien
80%-90%
Cukup Efisien
60%-80%
Efisien
Kurang dari 60%
Sangat Efisien
     Sumber : Kepmendagri No.690.900.327 tahun 1996

3.    Rasio Aktifitas (Rasio Keserasian)
Rasio ini menggambarkan bagaimana pemerintahan daerah memprioritaskan alokasi dananya pada belanja rutin dan belanja pembangunan secara optimal. Semakin tinggi presentase dana yang dialokasikan untuk belanja rutin berarti presentase belanja investasi (belanja pembangunan) yang digunakan untuk menyediakan sarana prasarana ekonomi masyarakat cenderung semakin kecil. Secara sederhana, rasio keserasian itu dapat diformulasikan sebagai berikut (Halim 2007:236):
  Total Belanja Rutin
Rasio Belanja Rutin Terhadap APBD                                      =      
                   Total APBD


Total Belanja Pembangunan
Rasio Belanja Pembangunan terhadap APBD    =
                                                                                               Total APBD

Belum ada patokan yang pasti berapa besarnya rasio belanja rutin maupun pembangunan terhadap APBD yang ideal, karena sangat dipengaruhi oleh dinamisasi kegiatan pembangunan dan besarnya kebutuhan investasi yang diperlukan untuk mencapai pertumbuhan yang ditargetkan. Namun demikian, sebagai daerah dinegara berkembang peranan pemerintah daerah untuk memacu pelaksanaan pembangunan masih relatif besar. Oleh karena itu, rasio belanja pembangunan yang relative masih kecil perlu ditingkatkan sesuai dengan kebutuhan pembangunan didaerah.
Nama akun belanja rutin adalah sama dengan belanja operasi sedangkan belanja pembangunan sendiri adalah belanja modal. Dan nama akun belanja operasi dan belanja modal tercantum pada PP Nomor 24 tahun 2005.

4.        Debt Service Coverage Ratio (DSCR)
Dalam rangka melaksanakan pembangunan sarana dan prasarana didaerah, selain menggunakan pendapatan asli daerah, pemerintah daerah dapat menggunakan alternatif sumber dana lain, yaitu dengan melakukan pinjaman, sepanjang prosedur dan pelaksanaannya sesuai dengan peraturan yang berlaku. Ketentuan yang menyangkut persyaratan adalah (Halim 2007: 238):
a.    Jumlah kumulatif pinjaman daerah yang wajib dibayar maksimal 75% dari penerimaan APBD tahun sebelumnya.
b.    DSCR minimal 2,5%.
DSCR merupakan perbandingan antara Pendapatan Asli Daerah (PAD), Bagian Daerah (BD) dari Pajak Bumi dan Bangunan, Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan (BPHTB). Penerimaan Sumber Daya Alam dan Bagian Daerah lainnya serta Dana Alokasi Umum setelah dikurangi Belanja Wajib, dengan penjumlahan Angsuran Pokok, Bunga dan Pinjaman lainnya yang jatuh tempo.

                                                          (PAD+BD+DAU)- BW
             DSCR               =                                                                           
                                       Total (pokok angsuran+bunga+ biaya pinjaman)


Rasio kemampuan Keuangan Daerah dihitung berdasarkan perbandingan antara proyeksi tahunan jumlah Pendapatan Asli Daerah, Dana Bagi Hasil tidak termasuk Dana Bagi Hasil Dana Reboisasi, dan Dana Alokasi Umum setelah dikurangi belanja wajib dibagi dengan proyeksi penjumlahan angsuran pokok, bunga, dan biaya lain yang jatuh tempo setiap tahunnya selama jangka waktu pinjaman yang akan ditarik.(PP no 54  tahun 2005).
Yang dimaksud dengan “biaya wajib” adalah belanja pegawai dan belanja anggota DPRD.
Yang dimaksud dengan “biaya lain” yaitu antara lain biaya administrasi, biaya provisi, biaya komitmen, asuransi dan denda.

                                (PAD+(DBH-DBHDR)+DAU)- Belanja Wajib
             DSCR               =                                                                            
                                           Total (pokok angsuran+bunga+biaya lain)

DSCR       =  Debt Service Coverage Ratio atau Rasio Kemampuan Membayar Kembali Pinjaman.   
PAD         =  Pendapatan Asli Daerah.
DAU        =  Dana Alokasi Umum.
DBH        =  Dana Bagi Hasil.
DBHDR   =  Dana Bagi Hasil Dana Reboisasi.


5.    Rasio Pertumbuhan
Rasio pertumbuhan (Growth Ratio) mengukur seberapa besar kemampuan pemerintah daerah dalam mempertahankan dan meningkatkan keberhasilannya yang telah dicapai dari periode ke periode berikutnya. Dengan diketahuinya pertumbuhan untuk masing-masing komponen sumber pendapatan dan pengeluaran, dapat digunakan mengevaluasi potensi-potensi mana yang perlu mendapatkan perhatian (Halim 2007:241).

Realisasi Penerimaan PAD xn – xn-1
Rasio Pertumbuhan PAD              =
              Realisasi Penerimaan PAD xn-1

Rasio Pertumbuhan ∑ Pendapatan  =        Realisasi Pertumbuhan ∑ Pendapatan xn–xn-1
                                                                        Realisasi Pertumbuhan ∑ Pendapatan xn-1
Keterangan:
xn     = tahun yang dihitung.
xn-1   = tahun sebelumnya.

1 komentar:

  1. saya mau bertanya, nama laporan untuk mendapatkan data tentang biaya yang dikeluarkan dalam memungut PAD apa ya ?

    BalasHapus